Cintaku Pada Rambutku: Sebuah Kisah tentang Pengorbanan dan Ikhlas

"Rambutku, sayangku, aku ingin kamu hidup memanjang dan indah," ucapku, jari-jariku lembut menyentuh helainya. "Aku ingin kamu gondrong, seperti dewa-dewa yang dikisahkan dalam legenda."

Rambutku terdiam, tidak berkata apa-apa. Namun, aku merasakan helainya yang halus sedikit bergetar, seolah-olah setuju dengan permintaanku.

"Aku tahu, kamu mungkin tak bisa berbicara, namun aku merasakan cintamu padaku. Kau membiarkan dirimu tumbuh panjang untukku, meski mungkin tak nyaman bagi dirimu sendiri."

"Aku ingin kamu tahu, cintaku padamu takkan pernah padam. Kau seperti bagian dari diriku, seperti jiwa yang menempel di tubuhku. Setiap kali aku menyentuhmu, aku merasakan ketenangan. Setiap kali aku mencium harummu, aku merasakan kebahagiaan."

"Aku ingin menjadikanmu sebuah mahkota, yang akan kusematkan di kepalaku dengan bangga. Aku ingin menjadikanmu sebuah simbol kebebasan, kebebasan untuk menjadi diriku sendiri, tanpa harus terkekang oleh batasan."

"Aku tahu, kamu mungkin tak mengerti apa yang kumaksud. Tapi aku percaya, cintaku padamu akan membuatmu mengerti."

"Lihat, rambutku," kataku, sambil menunjukkan cermin. "Kau semakin panjang, semakin indah. Aku bahagia, kau semakin mendekati mimpi-mimpiku."

Rambutku tetap tak berkata apa-apa, namun aku merasakan helainya seperti menari-nari, seolah-olah ikut bahagia dengan perasaanku.

"Aku ingin menjadikanmu seperti sungai yang mengalir, yang tak pernah berhenti mengalir, yang selalu bersemangat dalam setiap tetes airnya. Aku ingin menjadikanmu seperti pepohonan yang menjulang tinggi, yang selalu tegak berdiri, yang selalu menaungi kita dengan rindangnya."

"Aku ingin kau menjadi seperti mimpi-mimpiku, yang selalu hadir di sampingku, yang selalu menghiburku dengan keindahannya."

"Dan aku tahu, rambutku, kamu akan selalu ada di sampingku. Kau akan selalu menjadi bagian dari diriku. Karena kau adalah cintaku, kau adalah kebahagiaanku, kau adalah segalanya bagiku."

Aku mencium harum rambutku, "Aku mencintaimu, rambutku."

"Aku tidak bisa berkata apa-apa," jawab rambutku, meski tak bersuara, aku merasakan helainya mendekat, seolah-olah ingin membalas rasa cintaku. "Namun, saya ikhlas bila dengan kau membiarkanku memanjang bisa membuatmu lebih nyaman. Sebab puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan."

"Aku tahu, rambutku," kataku, "Aku mencintaimu karena kau ikhlas. Aku mencintaimu karena kau selalu ada untukku. Aku mencintaimu karena kau adalah bagian dari diriku."

"Dan aku akan selalu mencintaimu, rambutku. Sampai kapanpun."

Aku terus berbicara dengan rambutku, meskipun tak ada jawaban, aku merasakan kehangatan di dalam hatiku. Aku tahu, rambutku akan selalu ada untukku, seperti aku akan selalu ada untuknya. Kita berdua, terikat oleh ikatan cinta yang tak terpisahkan.

Penulis : Jefri Asmoro Diyatno

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Puluh Satu Tahun Berjalan, Di Balik Tawa Tersimpan Rindu yang Mendalam

Hidupku Memang Seperti Sampah yang Tak Ternilai, Aku adalah Sampah yang Bermimpi dari Hinaan Orang

Setetes Air Mata di Balik Gaun Wisuda: Sebuah Kisah Pilu Menuju Puncak Impian